Lebih

Lebih. Siapa yang lebih di dunia ini? Lebih tua, ada. Lebih gemuk, ada. Lebih kaya, ada. Itu ukuran yang biasa kita pakai untuk ukur diri dan sesama. Banding-banding. Banding diri dengan sesama. Banding sesama dengan diri. Tidak habis-habisnya banding-membanding ini. Kalau di sana lebih, di sini bilang kurang. Kurang lebih. Lebih kurang. Hidup kita jadi kacau ditambah balau lagi galau karena banding-banding ini. Akibatnya, lomba. Siapa lebih.

Lebih. Ungkapan ini muncul karena diri lihat pada orang lain dan kurang lihat diri. Dalam diri setiap kita manusia itu TUHAN berikan secara cuma-cuma, gratis, empat unsur:  Nafsu + Nalar + Naluri + Nurani. Dengan Nafsu kita manusia diberi kemampuan untuk lebih sehat, lebih baik dari hari ke hari. Dengan Nalar kita dimampukan untuk pikir dan alami hal-hal yang lebih benar, lebih berguna. Dengan Naluri kita manusia diberi peluang untuk lebih akrab dengan sesama, lebih  hargai, lebih sayang. Dengan Nurani kita yang diciptakan setiap orang atas dasar Kasih dari Yang Mahakasih itu untuk lebih kasihi DIA dalam tindak-tanduk kasihi diri dan sesama. (4N, Kwadran Bele, 2011). Lebih itu adalah ukuran untuk lebih dalam hal ini, lebih baik dalam diri sesuai tujuan DIA ciptakan diri kita. Bukan lihat kiri-kanan dan banding-banding dia lebih ini, lebih itu, dan saya kurang ini kurang itu.

Lebih. TUHAN tidak kasihi lebih yang satu dari yang lain. Bagi TUHAN, tidak ada anak mas anak perunggu, anak kandung anak angkat. Setiap diri kita, saya, anda, dia, sama-sama anak, tidak lebih tidak kurang. Ini kebenaran dan siap terima. Kalau mau selidiki, silahkan, tapi pasti buntu. Jadi silahkan jalan atau lari, gerak tanpa henti, ke depan, dan bukan uji jalan atau lomba lari, tapi hidup demi hidup yang lebih hidup mengarah ke DIA, Sumber HIDUP itu sendiri.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *