Membatasi. Membatasi apa? Membatasi siapa? Siapa yang membatasi? Untuk apa membatasi? Empat pertanyaan ini membutuhkan jawaban. Apa, siapa, dan untuk apa? Ada dua pelaku dalam hal ini yang membatasi dan yang dibatasi. Membatasi diri, itu biasa. Saya membatasi diri sehingga diri yang membatasi dan diri pula yang dibatasi. Dalam segala hal. Tinggal jawaban atas pertanyaan, untuk apa membatasi. Kalau tujuannya baik, benar dan bagus, maka kegiatan membatasi itu baik, benar dan bagus. Kalau tujuannya tidak baik, benar dan bagus, maka tindakan membatasi itu entah oleh diri untuk diri atau oleh orang lain untuk diri saya, melanggar hak asasi saya. Batas membatasi itu ada dasarnya, ada aturannya dan ada tujuannya.
Membatasi. Pertama, membatasi diri. Dalam hidup ini persoalan muncul karena kita lalai membatasi diri. Terbawa Nafsu sampai tidak kenal batas. Nalar dibelokkan dengan segala tipu daya, tipu diri dan sesama. Naluri diabaikan sampai batas adat dan agama dilanggar seenaknya. Nurani dibungkam dengan berbagai alasan pembenaran diri sehingga seharusnya membatasi diri malah batas-batas itu tidak dianggap batas lagi. (4N, Kwadran Bele, 2011).
Membatasi. Kedua, membatasi pihak lain. Pihak lain itu, entah sesama manusia atau yang paling parah, membatasi TUHAN. Sesama kita itu ada hak dan kewajiban untuk membatasi diri kita karena berbagai alasan, demi kebaikan dirinya atau demi kebaikan diri kita. Hak dan kewajiban pemimpin agama, membatasi gerak-gerik kita atas Nama Tuhan untuk kebaikan kita. Wewenang pemimpin agama ini kita batasi malah kita remehkan dengan alasan, itu urusan saya dengan Tuhan, jangan campur tangan. Ini kita membatasi hak dan kewajiban pemimpin agama. Dalam keluarga, seorang anak wajib hukumnya untuk menaati perintah dan bimbingan orang tua sejauh perintah dan pembimbingan itu baik, benar dan bagus. Tapi kalau hak dan kewajiban mendidik ini dibatasi oleh sang anak dengan alasan orang tua kolot, orang tua merampas hak dan kebebasan diri anak, maka tindakan membatasi orang tua ini membawa petaka bagi diri si anak.
Membatasi. Dalam dua tindakan terdahulu, membatasi diri dan sesama, sejauh itu baik, terpuji. Sejauh itu buruk, terpuruk. Pihak lain yang dibatasi itu, bagaimana kalau itu TUHAN? Sering kita manusia ini membatasi TUHAN YANG MAHABAIK sekian rupa sampai Kasih TUHAN itu tidak lagi sampai ke diri kita dan sesama kita. Ini yang kita harapkan tidak terjadi.