Ramah dan Marah

Ramah dan Marah. Dua kata yang terdiri dari lima huruf yang sama. Tukar tempat. Artinya jadi lain sama sekali. Ini satu keunikan bahasa kita, bahasa Indonesia. Nafsu disalurkan dengan dua cara, ramah atau marah. Nalar mengolah maksud dan tujuan dua kata ini, ramah atau marah untuk apa? Naluri tergerak oleh dua pilihan, marah atau ramah. Hasilnya beda, marah ada musuh. Ramah, ada kawan. Nurani langsung bisik, untuk apa marah, untuk apa ramah? Jangan marah. Ini perintah dari Nurani.

Kerjasama antara empat unsur dalam diri kita manusia ini mengolah dua kata menjadi kesibukan tersendiri dalam diri kita. Marah membuat seluruh tubuh kita terbawa terpaan sumpah dan serapah. Ramah meneduhkan diri kita dalam keheningan yang bening penuh kesejukan.

Ramah dan marah tidak tercampur. Saat ramah, yah, ramah. Wajah menjadi lembut selembut kapas. Pipi memerah laksana delima. Sesama sekitar turut teduh dan tenang. Saat marah, yah, marah. Tidak pernah serentak marah dan ramah. Tidak mungkin. Lebih sering ramah dan kurang marah membuat diri kita manusia jadi jinak dan mudah dielus. Yang mengelus terbius rasa manisnya hidup. Yang terelus terhanyut oleh sejuknya air telaga teduh kehidupan.

Saat marah, suara jadi parau, dada terasa sesak, rambut pun ikut berdiri seperti duri landak. Insan yang marah jadi buas, mata menyala, bibir gemetar kaki terhentak siap menerjang. Aneh. Manusia makhluk mulia lenyap kemuliaannya kalau sedang marah.

Empat unsur dalam diri kita manusia:NAFSU +  NALAR + NALURI  + NURANI harus dikendali sekian sehingga yang muncul itu, ramah. (4 N, Kwadran Bele, 2011).  Kalau empatnya seimbang, maka pasti ramah yang muncul. Kalau salah satunya terlanjur terjulur terlalu keluar, pastilah marah yang menggelegar.

Tuhan Pencipta kita mau yang seimbang antara empat unsur itu sehingga yang nampak, ramah dari saat ke saat sampai pada akhir hayat pun di wajah tetap tersungging senyum dan terpancar aroma ramah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *