Serap dan resap. Dua kata yang sederhana kaya makna. Serap itu tindakan. Resap juga tindakan. Tanah serap air. Air meresap ke tanah.
Saya serap ilmu. Ilmu meresap dalam diri saya. Lebih dahulu serap baru resap. Tanah serap air yang meresap. Saya meresapkan ilmu yang saya serap. Serap resap. Itu urutan tindakannya. Tidak terbalik, resap serap. Serap apa yang diresap. Bukan resap apa yang diserap. Saya serap baru resap. Mengapa dua kata ini dibolak-balik sekian sampai begitu merepotkan?
Nafsu manusia serap sekian banyak keinginan. Nalar manusia serap begitu banyak pengetahuan dan pengalaman. Naluri manusia serap manis-pahitnya pergaulan. Nurani manusia serap damai dan galaunya rasa. Semuanya itu meresap dalam diri kita manusia. Terlebur menyatu menjadi diri yang bertumbuh dari saat ke saat. Inilah urutan tindakan serap ke resap yang membuat diri kita manusia tak pernah berhenti bergerak sampai nafas terakhir terhembus. (4N, Kwadran Bele, 2011).
Manusia tidak mungkin resap segala sesuatu dari luar dirinya tanpa lebih dahulu ia serap. Kita resap dalam diri kita apa yang kita serap. Tak pernah mungkin kita serap apa yang tidak kita resap. Serap membutuhkan kegiatan. Resap dengan sendirinya terjadi tanpa diatur. Serap diatur. Resap tidak. Di sinilah letaknya akibat baik atau buruk dari penampilan diri kita sebagai hasil dari apa yang kita serap lalu meresap tanpa kita kendali lagi.
Serap membutuhkan kehendak bebas. Bisa pilih apa yang mau diserap. Resap tidak lagi dapat dikontrol. Dengan sendirinya apa yang kita serap itu meresap dalam diri kita. Nafsu kalau resap yang baik maka dalam diri kita akan menyerap hal yang baik dan membuat diri kita orang baik. Nalar kalau resap pengetahuan dan pengalaman yang baik maka dalam diri kita akan menyerap segala yang baik itu. Naluri kita kalau meresapkan tawa-ria maka seluruh diri kita terbawa terbang oleh tawa-ria yang terserap. Nurani kita pun turut meresap segala kebaikan yang selanjutnya terserap sebagai harta yang baik dan menampilkan diri kita sebagai orang baik.
Kita hidup ini meresap kehidupan yang dicurahkan Pencipta ke dalam tubuh yang terbentuk sejak jadinya diri kita dalam rahim sang ibu yang bersatu dengan sang ayah. Kehidupan yang kita resap itulah yang terserap dalam diri kita sejak awal sampai akhir hidup kita. Waktu dalam rahim ibu, kita meresap apa yang sang ibu resap. Dan itu terserap. Itulah yang kita namakan warisan atau pembawaan. Pembawaan adalah serapan dari apa yang kita serap dari segala yang terserap dalam diri ibu yang sudah serap dari luar dirinya. Diri kita adalah hasil serapan buah perpaduan antara benih ayah dan ibu. Maka yang kita serap itu perpaduan ini. Dalam rahim ibu kita pun sudah diberi kemampuan untuk serap segala yang disalurkan Pencipta lewat ibu dan ayah kita dan semuanya ini meresap dalam diri kita.
Kita hidup ini serap kebaikan Pencipta yang kita sebut Rahmat. Rahmat itu teresap dalam diri kita. Nikmati yang baik hasil resapan dari Nafsu yang merepas yang baik. Pikiran yang baik hasil Nalar yang menyerap yang benar. Keakraban adalah hasil Naluri yang menyerap pergaulan dengan sesama yang baik. Rasa tenteram dan damai hasil Nurani yang menyerap segala yang tenteram dan damai.
Hidup ini serap dan resap Rahmat dari Pencipta.