Petani

Petani. Dia pikir dua hal ini, tanah dan tanam. Tanah di mana, tanam apa. Dua hal ini jadi pikiran siang malam. Tanah dicari yang cocok untuk ditanami. Ini melahirkan kata, bercocok-tanam. Nafsu untuk dapat hasil mendorong petani untuk olah tanah dan tanam bibit. Nalar untuk dapat hasil yang baik, pikir dan pakai segala cara untuk bertani yang baik. Naluri untuk hidup diri dan keluarga dorong petani untuk kerjasama. Nurani petani yang tulus, selalu menengadah ke langit harap hujan dan tunduk ke tanah lihat tanaman tumbuh. Empat unsur dalam diri petani ini: NAFSU + NALAR + NALURI + NURANI berpadu menyatu jadi pribadi yang bersujud mencium tanah dan menatap langit, percaya dan berharap pada SANG PEMILIK langit dan bumi. Siang malam doa petani itu cuma satu, “TUHAN, berkatilah usaha saya agar bisa panen berlimpah”. (4N, Kwadran Bele, 2011).

Petani sedih lihat ada orang yang buat rusak tanah dan air. Heran, kita manusia ini sering kurang sadar, kita hidup dari tanah dan air. Lalu ada yang tega rusakkan tanah, rampas tanah, kotorkan air, boros air. Kalau petani gagal, batal seluruh niat umat manusia. Ini malapetaka besar.  Sering orang melihat petani dengn sebelah mata. Ini tanda kurang sadar bahwa perutnya tergantung pada petani. Perut terisi oleh hasil keringat petani.

Setiap manusia adalah petani. Cinta tanah, cinta air. Itulah ciri khas petani. Seorang pegawai kantor atau guru sekolah, adalah petani sejauh ia cinta tanah dan tanam apa saja, entah itu yang bisa dimakan hasilnya maupun yang cuma menghasilkan udara bersih dengan rimbunnya daun dan mekarnya bunga. Ini mata rantai usaha tani. Petani jangan hanya dikaitkan selalu dengan ladang yang luas dan sawah yang membentang. Ingat saja, tanah dan tanam. Siapa saja yang garuk tanah dan tanam sesuatu, adalah petani dalam arti yang umum.

Petani. Gelar ini selalu dikaitkan dengan tangan kotor, kaki berlumpur, kerja kasar, diterpa terik matahari dan bermandi hujan. Bau dekil, khas petani. Harum parfum, khas kantoran. Tidak bisa dibayangkan kalau petani berhenti garap tanah dan mogok tanam. Semua kita harus jadi petani. Tanam  apa saja. Di mana saja. Tanam yang berumbi, tanam yang berbuah. Tanam yang hijau, tanam yang segar. Cinta tanah, gemar tanam. Itulah petani. Mulai kanak-kanak, suka tanam. Sampai kakek-kakek, tetap tanam. Itulah petani dalam arti umum.

Petani dalam arti khusus? Yah, itu, bapa-ibu kita yang pagi ke sawah ladang, malam urus bibit pada musim tanam, dan himpun hasilnya di musim panen.

 

 

 

 

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *