Jual obat. Tukang jual obat. Ungkapan ini ejekan. Senang kalau obat laku. Heran bahwa ada orang yang mau beli. Hidup ini jual obat. Tipu. Baku tipu sana baku tipu sini. Tertipu itu barang biasa. Orang lain tertipu sendiri juga tertipu. Hasil jual obat. Obat yang dijual, khasiatnya sedikit, bungkusnya yang hebat. Pembeli tertarik dengan kemasannya bukan isinya. Tidak perduli dengan isinya. Hiburan sesaat. Tawaran menggiurkan. Terbuai belaian bujuk rayu. Hanyut. Itulah hidup. Kajian filsafat tentang jual obat ini, mudah. Pakai ‘Kwadran Bele’, 4N.
Jual obat. Ini dorongan NAFSU untuk didengar dan mendengar. Pihak penjual obat, ingin didengar. Tambah bumbu di sana-sini supaya mengelabui pendengar. Pihak pembeli obat, ingin mendengar. Biar sadar bahwa ini lebih banyak bohongnya dari pada benarnya. Ada pertimbangan NALAR. Penjual pilih kata-kata yang tepat untuk mempengaruhi pembeli. Pembeli saring yang didengar. Akhirnya timbang sana timbang sini, dan putuskan, beli. Obat laku. NALURI bekerja keras. Penjual mulut berbusa-busa suarakan kata-kata bertuah, pembeli terkagum-kagum percaya gaung tong kosong. Saling menyapa dan terjadi transaksi, jual-beli bertamengkan bohongan saling menolong. NURANI dua belah pihak tercenung merenung resap udara damai sejahtera padahal hampa. (4N, Kwadran Bele, 2011).
Jual obat. Sering dari mimbar-mimbar kudus pun terdengar jual obat. Sendiri tidak menghayati, suruh orang mendengar dan laksanakan. Dari panggung-panggung politik, apa lagi. Jual obat paling hebat. Laku keras. Meja-meja pertemuan ditata. Rapat. Perdamaian. Padahal hanya di mulut dan di kertas. Ini bukti nyata hidup jual obat. Obat yang sedianya menyembuhkan, malah mematikan.
Jual obat. Sejak adanya manusia sampai sekarang, saya, anda, dia, kita, sibuk jual obat. Kadang-kadang laku, lebih sering tidak laku. Dunia ini kacau-balau karena kita semua terlalu banyak jual-beli obat.
TUHAN tetap dengar dan lihat dan terus tegur, kadang-kadang jewer kita untuk kurangi jual obat.