Kota Buah. Ini maksudnya buah sungguhan. Kota yang menghasilkan buah. Buah apa saja yang bisa dimakan oleh penduduk kota. Kota apa saja, entah itu kota kecil atau kota besar, pokoknya kota. Entah ibu kota negara, provinsi, kabupaten, kecamatan, pokoknya kota. Kota yang dihuni oleh penduduk yang menamakan diri penduduk kota dipertentangkan dengan penduduk desa. Penduduk, yah penduduk, manusia yang menghuni entah itu desa atau kota.
Kota Buah. Kota yang penduduknya menghasilkan buah untuk dimakan. Dari sudut filsafat, sederhana sekali memahami makna Kota Buah. Kota penghasil buah. Kita manusia ada dalam diri kita, empat unsur: NAFSU + NALAR + NALURI + NURANI. (4N, Kwadran Bele, 2011).
Kota Buah. Kita manusia ada nafsu makan. Setiap manusia ada NAFSU, termasuk nafsu makan. Makanya dia hidup. Tidak makan, mati. Mengapa di kota tidak ditanam pohon buah-buahan untuk dimakan? Di Indonesia ini, pohon buah-buahan apa pun saja dapat hidup. Sudah terpola dalam pikiran kita, kota itu bukan kebun. Buah-buahan di kebun. Kota itu tempat orang buat rumah, restoran, toko, kantor, sekolah, teater. Bangunan-bangunan ini cukup dihiasi dengan pohon pelindung yang rindang. Mengapa tidak ditanam nangka, mangga, sawo, rambutan, jeruk? Eh, jorok. Merusak pemandangan. Di sinilah letaknya persepsi yang salah. Pohon buah-buahan dianggap tidak layak untuk menghiasi kota.
Kota Buah. Kita manusia ada NALAR. Dengan NALAR kita berpikir, mengetahui dan mengalami hal-hal yang paling berguna untuk kehidupan kita. Kota bukan hanya tempat tumbuhnya gedung-gedung ber-ac. Pohon buah-buahan pun berhak untuk tumbuh di kota. Ini perlu kecerdasan NALAR manusia di kota itu. Bayangkan, semua macam pohon buah-buahan itu menghasilkan buah-buah ranum sesuai musimnya. Apakah ini mengotorkan kota? NALAR kita harus diasah untuk memahami makna dan manfaat Kota Buah.
Kota Buah. Kita manusia ada NALURI. Kota kalau dihiasi dengan pohon buah-buahan, setiap penghuni kota akan menjaga dan menikmati buah-buah itu secara bersama sesuai kebutuhan masing-masing. Supaya adil, setiap jengkal tanah di kota itu dibagi kepada penduduk kota untuk ditanami pohon buah-buahan. Siapa yang tanam, dia yang petik hasilnya. Ini perlu rasa tanggung-jawab yang harus ada dalam diri setiap penduduk kota. Mana pohon yang ditanam oleh petugas dari Dinas tertentu, mana yang ditanam oleh orang per orang dari keluarga sesuai pengaturan lahan umum yang dikapling oleh Ketua RT (Rukun Tetangga). Kalau di halaman rumah, itu urusan keluarga. Tapi tanah milik umum, dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk ditanami pohon buah-buahan. Ini karya NALURI untuk menanam, memetik dan menikmati hasil karya dalam rasa hidup bersama.
Kota Buah. Kita manusia ada NURANI untuk menyukuri karunia TUHAN Yang menciptakan kita manusia lalu menghuni kota dan desa. Di kota, tumbuhkan pohon buah-buahan. Salah? Tidak biasa. Siapa yang bilang tidak biasa? Itu karena kita manusia ini sudah mencabut diri dari akar kita bahwa kita ini hidup dari bertani dan beternak serta menangkap hasil laut. Kebiasaan yang baik ini diteruskan di kota, apa salahnya? Ada tambak dalam kota. Bisa. Kalau begitu bisa sekali ada tanaman pohon buah-buahan dalam kota. Kalau beternak, soal lain lagi. Itu masalah gangguan suara dan kotoran. Tapi kalau tanaman pohon buah-buahn, mengganggu? Tidak.
Kota Buah. Mari kita semua berpikir ulang. Sesuai filsafat pembangunan, ‘Kwadran Bele’, menanam pohon buah-buahan dan menjadikan kota itu Kota Buah, tidak janggal. Tinggal kita mulai. TUHAN senang melihat insan ciptaan-Nya ramai-ramai memetik buah-buahan dalam kota yang biar bising di siang hari tapi sejuk dan indah dengan gemerlapan cahaya listrik warna-warni di malam hari. Kota Buah. Tinggal pahami dan nikmati.