Manusia Cinta Damai

Damai

Damai. Kata ini sudah basi. Cuma penghias bibir. Damai di mulut, benci di hati. Puji di depan, cemooh di belakang. Siapa pun kita, namanya manusia, ingin damai, hidup damai, dengan diri dan semua orang. Ini yang asli, asasi. Karena kita manusia memang berasal dari Sumber DAMAI dan sedang kembali ke Sumber DAMAI itu dengan damai. Nafsu kita diberi TUHAN untuk nikmati damai. Nalar kita hadiah dari TUHAN untuk pikir damai. Naluri kita itu diadakan untuk cari damai. Nurani kita diberi TUHAN untuk cinta damai. (4N, Kwadran Bele, 2011).

Damai. Ini tujuan utama pertemuan ‘G20’. Bicara dagang, bicara sosial, bicara politik, bicara hutan, bicara pangan, semua dalam suasana damai untuk hidup damai. Kalau diri penuh damai dengan sendirinya lingkungan, baik manusia maupun alam, terisi damai terpancar sinar damai. Duduk damai, berdiri damai, kerja damai, makan damai, tidur damai. Apa yang sebenarnya kita manusia cari? Negara-negara ‘G20’ untuk apa bertemu buang waktu buang tenaga dan dana, datang bersidang, untuk apa? Untuk damai. Kalau demikian kata damai tidak lagi basi hasil basa-basi.

Damai. :Pikir damai, omong damai, buat damai, hidup damai. Kalau sudah damai, untuk apa lagi itu pesawat tanpa awak intip sana intip sini cari markas musuh padahal tidak ada musuh. Roket-roket pembawa bom, dilebur jadi traktor pembajak sawah. Kapal selam pembawa torpedo dijadikan kapal wisata selam. Senapan otomatis diracik ulang jadi besi penggantung jemuran. Peluru tajam dicopot bahan peledaknya dijadikan peluit wasit liga sepak bola. Apa salahnya, apa sulitnya tinggalkan segala macam senjata pembumuh diganti dengan pisau roti?

Para anggota ‘G20’, pikirlah hal-hal yang menjurus ke damai dan singkirkan jurang permusuhan dan buang itu meriam, peluru kendali ke jurang dalam terkubur di sana. Jet tempur dijadikan kendaraan angkasa mainan anak-anak terjun payung terbang melayang. Ini bukan igauan di siang bolong, ini bukan ramalan si pembohong. Ini pasti jadi kenyataan asal hati dipadati damai dan damai dari hari ke hari.

Datang sidang runding damai, jadikan ‘G20’ pendekar damai, bawa damai, tebar damai, hidup damai.

Lihat, TUHAN tersenyum!

Air

Air. Pakai air. Hemat air. Ambil air. Tampung air. Cari air. Bagi air. Jaga air.

Ini semua kegiatan manusia dalam kaitan dengan air. Bumi tanpa air, air tanpa bumi, tidak ada.  Kenyataan, bumi tampung air, air tertampung di bumi. Satu kesatuan. Dua kenyataan, ada air, ada bumi. Air bahagian dari bumi, bumi bahagian dari air. Menyatu. Manusia ada di bumi yang ada air, air ada di bumi bersama manusia. Tak dapat dibayangkan bumi tanpa air yang ada manusia. Sebaliknya, tak dapat dibayangkan air ada di bumi yang tidak ada manusia. Tiga komponen: bumi, air, manusia. Ketiganya,  sama-sama ada dan saling mengada, saling memelihara. Aktor utama adalah manusia, kita ini. Perilaku manusia menentukan keberlangsungan adanya bumi, air dan diri manusia itu sendiri.

Nafsu minum dalam diri manusia mendorong manusia untuk berperilaku yang wajar terhadap air yang ada di bumi. Nalar manusia mengupayakan segala daya agar ada terjaga air di bumi. Naluri manusia saling mengajak antara sesama manusia agar memakai air secara terukur supaya sama-sama dapat air secukupnya. Nurani manusia menyadarkan manusia untuk menyukuri bahwa ada bumi dan air yang saling menampung agar dapat dinikmati manusia. Empat unsur dalam diri manusia, ini: Nafsu + Nalar + Naluri + Nurani membuat diri manusia itu sadar-sesadar-sadarnya bahwa manusia menghuni bumi yang ada air atas penyelenggaraan di luar kemampuan diri manusia, dan yang menyelenggarakan itu adalah TUHAN, PENYELENGGARA segala sesuatu yang baik dalam keberadaan segala yan ada. Pengada itu adalah Sang Maha Ada yang Ada dan tidak diadakan.  (4N, Kwadran Bele, 2011).

Perhatian kita tertuju pada air. Air ada di mana-mana, tetapi belum tentu di mana-mana ada air. Inilah hal krusial bagi manusia. Semua manusia yang dulu pernah ada, sekarang ada dan yang akan ada bergantung pada air yang ada di bumi ini. Bumi ini tempat tampung air. Kalau bumi rusak, air tidak tertampung dengan baik. Kalau air tidak ditampung dengan baik, bumi sendiri akan retak dan proses hancurnya bumi cepat atau lambat, akan terjadi. Ini alamiah. Manusia penanggung-jawab pertama dan utama untuk tetap adanya keberlangsungan bumi tempat air ditampung dan air ada dalam jumlah yang cukup untuk manusia.

Tragedi besar akan terjadi kalau air jadi langka atau bumi sebagai tempat tampungan air itu rusak lalu manusia kekurangan air.

Manusia bertangggung jawab agar bumi utuh dan air cukup. Pengrusakan bumi sama artinya dengan peretakan wadah penampung air. Hanya orang gila saja yang menampung air dalam ember bocor. Nafsu ada mau pakai air tapi nalar tidak dipakai untuk cukupkan air. Naluri ada untuk bagi dan pakai air sama rata tapi sementara itu bertengkar menumpahkan air di gelas yang ada di tangan sesama. Nurani cemas dan timbul belas kasihan terhadap saudaranya yang merintih kehausan sementara dirinya minum dan mandi dalam kolam kelimpahan air. Inilah ulah manusia, kita-kita ini, yang serakah tinggal di bumi yang satu, yang sama-sama butuhkan air yang TUHAN adakan.

Kita manusia, siapa pun saja, pikul tanggung jawab untuk tersedianya air secukupnya agar setiap kerongkongan tidak kering kerontang. Air yang ada diatur bersama untuk kepentingan bersama. Mulai dari keluarga, tetangga sampai ke tingkat perkumpulan kita manusia di bumi ini sama-sama sadar, butuh air dan atur air. Air yang ada tidak dibuang sesuka hati. Air yang tertampung tidak dikotori dengan limbah apa pun saja.

Apakah kita perlu malaikat turun dari surga untuk bantu menata bumi, menjaga air bagi kita manusia?

Tanggung-jawab paling besar ada di pundak para pemimpin, orang-orang hebat yang ada kuasa dan ada uang untuk tersedianya air bagi setiap mulut  insan di bumi ini. Semua pemimpin itu dalam kelompok kecil atau kelompok besar, kalau berkumpul, jangan hanya bicara dagang dan perang, pabrik dan produk. Lupa bicara air? Konyol. Silahkan sewa hotel berbintang lima, rapat di aula berhiaskan berlian, tapi kalau lupa bicara air, maka pertemuan itu ibarat manusia-manusia buta mata dan buntu otak yang tidak peduli pada orang-orang kecil yang kehausan  berjingkat ayun gayung reot minta diisi air pembasah lidah yang layu.

TUHAN, lindungi dan tuntun para abdi-Mu, siapa pun saja dia, yang berkumpul pada saat-saat khusus dan istimewa di tempat mewah,  agar hati dan budi mereka terbuka untuk bicara segala hal di bumi dan angkasa. Semoga mereka tidak lupa bicara AIR.

TUHAN

TUHAN. Ditulis dengan Huruf Besar. Berarti TUHAN yah, TUHAN. TUHAN yang pusat percakapan dalam artikel ini. Tulis tentang TUHAN. Tabu? Pantang? Tidak boleh? Dilarang? Dosa? Tidak. Sangat-sangat pantas dan layak untuk pikir, bicara, tulis malah serukan  Nama TUHAN !!! Mengapa? Karena TUHAN-lah asal segala sesuatu tanpa kecuali, DIA-lah Pencipta dan Pemilik alam semesta dengan segala isinya. TUHAN-lah Pencipta diri kita manusia, termasuk penulis artikel ini, Anton Bele bersama Tim Kompasiana, semua Sahabat Kompasioner dan semua-semua, siapa pun dia. Lalu Bapa-Ibu pemimpin ‘G20’, Uni Eropa dan sembilan belas Negara, termasuk Indonesia, di mana posisi mereka? Mereka pun sama, sama dengan kita semua,  sesama kita yang sama-sama hidup sesaat menghuni bumi ini yang tidak kuasai bumi ini, semesta ini, selain TUHAN.

Ah, orang-orang yang harus disebut Tokoh-tokoh terhormat, Pemimpin-pemimpin hebat, disinggung dalam artikel ini berkaitan dengan pertemuan ‘G20’, apa urusannya  dengan TUHAN sehingga Nama TUHAN dibawa-bawa dalam artikel ini? Mereka Pemimpin Negara-negara, pemimpin rakyat, bukan  Pemimpin Agama. Apa urusannya dengan TUHAN? Di sinilah letak persoalan masyarakat manusia, kita-kita yang sekitar delapan milliar orang yang sedang memadati bola bumi ini. Kita berlaku seolah-olah kita ini ada hanya di samping TUHAN, di depan TUHAN, di luar TUHAN, malah teganya berpendirian bahwa TUHAN itu jauh, sampai dari antara kita begitu tegas menyatakan, TUHAN itu tidak ada.

Nama TUHAN itu boleh diserukan oleh Pemimpin Agama di Rumah-rumah Ibadat saat beribadat. Di luar itu? Tidak perlu. Tidak perlu libatkan TUHAN di mana-mana. Urus dunia ini, urus uang, urus makanan, pakaian dan perumahan, terlebih urus senjata, apa gunanya libatkan TUHAN. TUHAN itu terbatas pada urusan rohani, urusan ilahi, urusan surgawi. Urusan agama.

Urus negara ini, urus rakyat, urus ekonomi,  urus politik, itu urusan jasmani, urusan manusiawi, urusan duniawi. Dua hal yang berbeda, satu di kutub Utara satu di kutub Selatan, tidak bisa dipadukan, tidak bisa dicampur-adukkan. Urusan dunia, dunia. Urusan surga, surga. Jangan campur-adukkan pemimpin dunia dengan pemimpin agama. Kedua urusan ini, dunia dan agama, otonom, masing-masing jalan sendiri, urus diri sendiri. Yang adi-kodrati jangan dikait-kaitkan dengan yang kodrati.

Semua pertanyaan dan pernyataan ini sedang ramai beredar dan diyakini sebagai kebenaran karena dilihat sebagai hasil pemikiran filosofis, pemikiran yang sedalam-dalamnya dan itulah kebenaran. Ternyata, kebenaran yang tidak benar!!! Itu ibarat ceritera kuno, orang-orang buta yang memegang gajah, yang pegang perut, gajah itu loteng, yang pegang ekor, gajah itu tali, yang pegang kaki, gajah itu tiang. Keterbatasan kita manusia menyimpulkan dan berpendapat rupa-rupa tentang TUHAN. Artikel ini pun pendapat yang sudah jadi keyakinan penulis. Berbeda pendapat, terserah.

Yang berhimpun, bertemu dan bersidang dalam pertemuan G20 itu manusia-manusia. Setiap mereka ada Nafsu yang bersentuhan dengan urusan jasmani. Ada Nalar yang berkaitan dengan bidang Iptek. Naluri yang berkaitan dengan urusan sosial-politik. Nurani yang menyangkut urusan rohani. Empat urusan ini hanya dapat dibedakan, tidak bisa dipisahkan. Nafsu+Nalar+Naluri+Nurani itu empat unsur yang diciptakan TUHAN sebagai kesatuan dalam diri setiap manusia untuk menjalani hidup di bumi ini. (4N, Kwadran Bele, 2011).

Kalau empat-empatnya itu berasal dari TUHAN, maka tidak bisa dipisah-pisahkan. Para Pemimpin G20 yang terhormat, yakinlah bahwa kalian bertemu dalam Penyelenggaraan TUHAN. Pesawat terbang yang dipakai, mobil mewah yang dipakai, hotel berbintang yang ditumpangi, semua itu dari TUHAN, milik TUHAN yang dibuat oleh manusia Ciptaan TUHAN. Nafas dan syaraf pun dari TUHAN.

Berundinglah dalam TUHAN, karena TUHAN maha mengerti, maha melihat apa saja yang kalian pikirkan, ucapkan, tuliskan, rencanakan,  putuskan untuk dilaksanakan.

TUHAN, berkati para Pemimpin kami yang bersidang bersama kami semua yang ikut bersidang dari jauh.

Dunia ini milik TUHAN, kita ini Ciptaan TUHAN.

TUHAN itu Pemilik dan Penguasa segala-galanya. Buatlah segala-galanya dalam terang TUHAN.

 

 

Penulis

Dr. Anton Bele, M.Si., lahir di Lakmaras, Timor, NTT, Indonesia, 18 April 1947. Tamatan Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga, strata 3, tahun 2011, menekuni bidang filsafat pembangunan. Menulis buku ‘Kwadran Bele’ tentang filsafat yang menguraikan hal-hal praktis tentang pembangunan.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *