Rumah itu tempat manusia tinggal. Mulai dari bentuk yang paling sederhana dalam bentuk gua sampai bangunan beton yang mahal, tetap namanya rumah kalau itu dibuat oleh manusia untuk tempat tinggal. Rumah dengan manusia itu jadi satu. Rumah menjadi perluasan diri manusia dalam bentuk ruangan dan kebanggaan dalam bentuk bangunan.
Rumah termasuk barang yang memenuhi NAFSU manusia untuk memiliki. Rumah itu hasil upaya NALAR manusia dalam bentuk bangunan dari bermacam-macam bahan yang dibangun menjadi bangunan sesuai tempat dan iklim. Rumah tempat kita manusia berkumpul dan berlindung memenuhi kebutuhan NALURI untuk aman dan tenang. Rumah menampilkan rasa bathin manusia sesuai NURANI yang terdalam untuk menyatakan syukur kepada Pencipta.
Filsafat rumah ini bertolak dari ‘4N’ (Kwadran Bele, 2011), di mana rumah itu besar atau kecil, mahal atau murahan, kuat atau rapuh menampilkan unsur dasar manusia yang berkaitan dengan NAFSU. Manusia menampilkan keahliannya dalam membangun rumah, dan inilah hasil NALAR yang membentuk rumah itu dalam berbagai gaya, datar atau lancip, satu atau puluhan malah ratusan tingkat. Ini semua hasil ‘pecah otak’ manusia.
Rumah juga menandakan gengsi pemiliknya. Ini NALURI. Manusia berlomba-lomba membangun rumah tidak hanya tempat belindung saja, tetapi penampilan kepada sesama di sekitar bahwa dirinya, seisi keluarganya, kelompok orang kaya. Kaya miskin manusia diukur dari rumah. Pantas kalau orang berlomba-lomba untuk dirikan rumah dengan rupa-rupa gaya. Rumah juga menampung manusia dalam gejolak bathinnya, dalam kerinduan menemukan keheningan. Ini NURANI manusia yang terpendam dalam rumah yang ia bangun.
Rumah itu mengikat manusia untuk tidak jauh dari dirinya. Daya tarik rumah pada pemiliknya, atau sebaliknya, pemilik rumah begitu terikat dengan rumahnya karena 4N ini. Nafsunya terpenuhi di rumah, Nalarnya terpateri di rumah, Nalurinya terpaut di rumah, Nuraninya terpendam dalam rumah. Manusia tinggal di rumahnya karena empat keterikatan ini dan manusia-manusia lain bertandang ke rumah sesamanya karena 4N ini.
Rumah menjadi berarti sejauh menampilkan 4N dari pemiliknya. Kalau rumah sudah tua dan ditinggalkan, keterikatan dengan pemiliknya masih tetap ada sebab waktu yang pernah terlewatkan oleh pemiliknya di rumah itu menandakan jejak yang tak terhapuskan. Atas dasar inilah manusia yang hidup dan menempati rumah bekas hunian sering mengalami keanehan karena kuatnya aura mantan pemilik sebelumnya. Ini bukan ilusi kalau ada ungkapan ‘rumah hantu’ yang dikenakan pada rumah tua yang lama tidak ditinggali.
Rumah yah rumah, tumpukan benda-benda. Benar kalau dilihat dari materi melulu. Tapi rumah adalah perluasan dari diri manusia. Atas dasar inilah manusia di mana-mana mendirikan rumah tempat ibadah dan menyatakan, ‘Ini rumah Tuhan’.