Manusia tidak bisa hidup tanpa obat. Bayi yang baru lahir digosok dengan minyak, obat untuk kulit. Bayi dimandikan dengan air hangat dicampur dengan air daun-daunan tertentu. Ini obat menurut kebiasaan di masing-masing tempat di kalangan suku yang berbeda-beda. Obat itu satu kebutuhan dalam hidup manusia, untuk mencegah atau mengobati penyakit. Manusia akrab dengan penyakit sejak bayi sampai tua, maka dengan sendirinya manusia akrab dengan obat mulai bayi sampai usia senja.
Apa sebenarnya obat itu? Obat hanya pelengkap bila sakit? Tidak, obat itu kebutuhan. Tubuh manusia pada saatnya mengalami kemunduran di sana-sini. Kemunduran inilah yang disebut sakit. Obat memulihkan kemunduran ini.
Manusia mempunyai dorongan untuk bertumbuh (Nafsu) dan kalau mengalami gangguan, maka dibutuhkan obat melalui pengetahuan dan pengalaman (Nalar) dan dibutuhkan sesama manusia (Naluri) untuk memberi obat yang diketahui ada di dalam alam ini yang diyakini diciptakan oleh Pencipta (Nurani). (Bdk. 4 N: Kwadran Bele, 2011, NAFSU + NALAR + NALURI + NURANI).
Obat itu diramu, ada yang obat kimia ada yang non kimia. Yang dari bahan kimia juga berasal dari alam dan tidak ada obat yang ada dan diadakan dari bahan di luar alam. Obat selalu dikaitkan dengan sakit. Kalau sakit minum obat. Obat dikaitkan pula dengan dukun, dokter. Mereka ini yang tahu dan berpengalaman dalam hal obat-obatan.
Obat untuk orang sakit, dan orang sakit dipertentangkan dengan orang sehat. Ada dua kemungkinan, atau sehat atau sakit. Sakit itu kurang atau tidak sehat. Obat untuk orang yang kurang atau tidak sehat. Seluruh bagian tubuh manusia ini bisa mengalami kurang sehat atau sakit, dan untuk segala macam sakit itu ada obatnya.
Manusia tidak dapat melepaskan diri dari obat karena manusia tidak mungkin sehat terus. Pasti akan mengalami sakit dan di situlah obat berperanan. Sampai sekarang, pada umumnya obat itu dikenal sebagai ramuan benda alami yang diramu sekian untuk mengatasi sakit ini dan itu.
Padahal obat itu bukan hanya ramuan yang tampak dalam bentuk fisik, benda. Bukan. Obat itu adalah perasaan, non fisik, ditampilkan dalam ramuan rupa-rupa dan kemasan rupa-rupa, padat, cair, uap. Itu semua hanya penampilan sangat kecil dari obat yang sesungguhnya, yaitu rasa, perasaan.
Sehat pun perasaan, sakit pun perasaan. Perasaan ini tampil dalam bahagian tubuh manusia sehingga dirasa sakit atau sehat. Sehat dibutuhkan obat yaitu sari makanan yang dikelompokkan dengan nama vitamin. Sakit pun dibutuhkan obat berupa pengganti atau tambahan pada bahagian tubuh yang mengalami kemunduran.
Obat itu perasaan untuk memulihkan perasaan yang menimbulkan kemesraan. Rasa itu yang harus dirawat terus-menerus. Rasa itu muncul dari 4 N dan kembali ke 4N. Hidup manusia itu adalah gerak rasa dari pribadi kembali ke pribadi sendiri. Gerak rasa inilah yang membutuhkan obat dan kalau obat hanya dimengerti sebagai ramuan saja, maka manusia yang sakit tidak akan sembuh.
Dia jauh dari kemesraan, itulah sakit yang sesungguhnya. Sembuh itu bukan semata karena obat ramuan, tapi sentuhan rasa antar sesama dalam hubungan segitiga antara ‘saya – sesama – DIA’. Hubungan yang mesra antara kita (saya-sesama-DIA) itulah yang disebut sehat. Itu terganggu, sakit. DIA itu TUHAN.