“MOT” Tempat Upacara Agama Asli Suku Buna di Timor

 

Agama asli suku Buna’ di Pulau Timor itu adalah Agama ‘Hot Esen’. Sampai sekarang, tahun 2020, agama asli ini masih hidup dan dihayati oleh suku Buna’ yang beranggotakan sekitar seratus ribu orang. Mereka menghuni wilayah pedalaman Pulau Timor, Kabupaten Belu, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).

Masyarakat suku Buna’ ini 100 % penganut Agama Kristen Katolik. Leluhur mereka berkenalan dengan Agama Katolik sejak tahun 1880-an. Sampai tahun 1980, semua sekolah dari SD sampai SMP yang ada milik Gereja Katolik. Baru pada tahun 1980 ke atas  ada satu SMP Negeri dan sekarang sudah ada 2 SMP Negeri, 1 SMA Negeri dan 1 SMK Negeri. Tapi semua Guru dan Siswa/i beragama Katolik. Ini gambaran tentang situasi masyarakat suku Buna’.

Di setiap kampung ada ‘Mot’, tempat upacara Agama Asli, Agama ‘Hot Esen’, yang percaya kepada ‘Hot Esen’, Matahari Yang Tinggi, gelar untuk ‘Yang Maha Tinggi’, Pencipta segala sesuatu. Di tengah kampung, ada susunan batu dalam bentuk lingkaran, garis tengah sekitar 50 meter. Bangunan ‘Mot’ ini dibuat lebih tinggi dari rumah-rumah yang dibangun dalam bentuk lingkaran sekitar ‘Mot’. Di tengah ‘Mot’ ini ada ‘Bosok’, susunan batu, tinggi sekitar 1 meter, garis tengah 2 meter dan di tengah ada tiang batu yang ditanam lambang leluhur. Tiang batu ini rata-rata berdiameter 20 cm dan tinggi 1 meter.

Semua acara adat diadakan di ‘Mot’, dan persembahan diletakkan di ‘Bosok’. Di dalam pelataran ‘Mot ‘ biasa ada pohon beringin dan di batang beringin ini banyak digantung tanduk kerbau dan rahang babi dari hewan-hewan ini yang dikurbankan waktu upacara keagamaan. Upacara agama asli yang sampai sekarang dirayakan, ialah: 1. ‘An Gene’ (Upacara mohon berkat buka kebun baru), 2. ‘Paol Sau’ (Syukur panen jagung), 3.  ‘Hohon a’ (Syukur Panen Padi),

  1. ‘Barut sau’ (Syukur panen kemiri), 5. ‘Pu sau’ (Syukur panen pinang). Semua upacara ini berkaitan dengan pertanian. Persembahan terdiri dari hasil kebun dan hewan untuk dibunuh, hatinya dipersembahkan di ‘Bosok’, dagingnya dijadikan lauk perjamuan dan ada bahagian yang dibagi-bagikan berdasarkan suku rumah untuk dibawa pulang dan dimakan bersama sambil menghimpun anggota suku dan ketua suku memberikan petuah-petuah adat.

Di  ‘Mot’ ada pemimpin ibadat, disebut ‘Makoan’. Dia ahli tutur adat dan ahli doa. Riwayat leluhur diungkapkan dan doa-doa kepada ‘Hot Esen’ didaraskan dalam bentuk syair yang dilagukan. Semua yang hadir menjawab dalam bentuk refrein, jawaban singkat sebagai tanda meng-amin-i apa yang diungkapkan oleh ‘Makoan’  kalimat demi kalimat. Bangunan ‘Mot’ ini pada hari-hari biasa tidak dipakai untuk berkumpul. Tempat ini dianggap sakral dan yang paling sakral yaitu ‘Bosok’ di tengah ‘Mot’.

Inilah filsafat keagamaan orang suku ‘Buna’ yang percaya bahwa leluhur mereka ada di hadapan Yang Maha Tinggi di Tempat Yang Tinggi, Langit berlapis tujuh. Mereka percaya bahwa ‘Hot Esen’ itu TUHAN Yang ada di Surga dan leluhur mereka bersama para Santu dan Santa (Katolik) mempersembahkan doa-doa permohonan dan syukur mereka kepada TUHAN. Mereka-mereka ini pada hari Minggu merayakan Misa di gereja sebagai orang Katolik di bawah pimpinan Imam yang menjadi Pastor (Gembala) pimpinan Umat di Paroki.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *