Sering kita dengar dan pakai kata ini, firasat. Ada rasa, dugaan, perkiraan tentang apa yang akan terjadi. Baik atau buruk. Sesudah terjadi langsung berceritera, memang, saya sudah ada firasat. Biasanya hal buruk yang menimpa itu yang diungkapkan melalui ceritera tentang firasat. Celaka dengan kendaraan di jalan. Entah sendiri atau kerabat dekat berujar, memang saya sudah ada firasat jelek tadi pagi. Kejadian dikaitkan dengan perasaan di waktu lalu.
Nafsu kita selalu berkontak dengan alam nyata. Nalar kita mengetahui dan mengalami yang sudah dan sedang terjadi. Nalar juga menduga apa yang akan terjadi. Di sini letak firasat. Naluri kita selalu mengharapkan yang baik. Kalau yang buruk menimpa kita langsung cari jawabnya pada firasat. Nurani kita terguncang oleh peristiwa jelek yang menimpa diri kita dan Nurani bertanya, salah apa? Ini peran 4N, Nafsu+ Nalar + Naluri +Nurani yang membuat diri kita hidup melangkah maju ke arah yang baik dan lebih baik lagi. (4N, Kwadran Bele, 2011).
Firasat itu meneguhkan atau meruntuhkan? Hidup itu tahan banting. Penuh tantangan. Dalam hadapi tantangan, kalau diteguhkan, baik. Kalau diruntuhkan semangat juang, jangan. Istilah firasat boleh tetap dipakai, karena sulit dihilangkan. Sudah berurat-akar dalam hidup kita bermasyarakat. Pakailah kata firasat dalam arti yang positif. ‘Tadi pagi saya ada firasat buruk’. Ungkapan ini meruntuhkan diri. Kalau tertimpa mala-petaka yang tak terduga, tanyalah Nafsu, ini salah keinginan? Tanya Nalar, mengapa saya tidak ikut larangan? Tanya Naluri, mengapa saya tidak ikuti nasihat orang untuk tidak berbuat hal itu? Tanya Nurani, mengapa saya tidak waspada menghadapi situasi ini?
Kita hidup tidak dituntun oleh firasat. Hidup kita dituntun oleh DIA, SANG PEMBERI HIDUP. Di luar DIA, tidak ada siapa pun, apa pun yang mengatur hidup kita ini. Unsur-unsur dalam diri kita, ‘4N’ itu anugerah dari YANG MAHA BIJAK untuk kita hidup penuh bijak bukan penuh firasat.