Filsafat Manusia

 

Wah ini apa lagi. Filsafat manusia. Manusia berpikir tentang Manusia. Apa? Berpikir tentang manusia? Tubuhnya? Jiwanya? Asal-usulnya? Hidupnya? Tidak! Manusia berpikir tentang manusia seutuhnya. Total. Mana mungkin. Manusia berpikir tentang manusia secara menyeluruh, utuh. Itu bagaimana?  Manusia berpikir sedalam-dalamnya tentang diri manusia itu sendiri. Mulai dari mana saja boleh. Mulai dari makan. Baik. Manusia makan. Itu satu kegiatan. Berarti harus ada makanan. Yah. Harus cari makanan. Yah. Cari dengan beli atau langsung kerja. Yah, bisa dua-duanya. Beli daging tanam jagung. Bisa. Tanam jagung harus tahu caranya. Memang demikian.

Tidak sendirian, manusia bersama orang lain. Yah, mana ada manusia sendirian di dunia ini yang atur diri seutuhnya. Dalam dongeng mungkin. Manusia harap hujan. Benar. Hujan datang, senang. Hujan lama tidak turun? Gelisah. Akhirnya doa minta hujan. Ah, doa? Doa kepada siapa? Roh-roh? Leluhur? Ada banyak ceritera, doa kepada Yang Maha Tinggi.

Hanya dalam beberapa belas kalimat di atas, kita sudah berfilsafat tentang manusia. Pikir rupa-rupa yang baik,  benar, dan bagus tentang manusia oleh manusia sudah masuk dalam filsafat manusia. Filsafat manusia itu tidak aneh-aneh. Lihat anak yang baru dilahirkan. Ini manusia. Dia hasil perkawinan antara seorang laki-laki dan perempuan.

Dengan lahirnya anak ini laki-laki berubah status dari perjaka ke ayah dan perempuan dari gadis menjadi ibu. Bayi ini tidak berdaya kalau tidak dirawat oleh ibunya. Heran, ibunya ada air susu. Ayahnya ada tenaga untuk melindungi dan mencari nafkah supaya bayi dan ibunya bisa hidup. Hidup yang ada dalam diri Ayah dan Ibu dilanjutkan dalam diri bayi. Bayi ini bertumbuh, kanak-kanak, remaja, dewasa. Nanti dia juga kawin, kalau laki-laki cari perempuan, kalau perempuan berpasangan dengan laki-laki. Ada adat di kebanyakan suku, laki-laki melamar perempuan untuk kawin bukan sebaliknya. Pokoknya dalam diri manusia ada dorongan untuk kawin.

Manusia berpasang-pasang saling melengkapi untuk sama-sama hidup. Hanya hidup saja? Hidup macam apa? Hidup saling menolong. Kalau itu saja bisa, gampang sekali, habis tolong, pergi. Hidup saling menghargai? Oh kalau harga jatuh, buang. Hidup saling menghormati? Wah, kalau tidak hormat lagi, cerai. Ada ketentuan yang umum, manusia itu berpasang-pasang dalam ikatan perkawinan atas dasar kasih. Ah, kasih itu apa? Ada istilah, kasih sayang. Inikah? Apa pun istilahnya, pokoknya dua orang itu saling menerima seutuhnya dan punya keturunan, berkembang dan berkembang. Lalu buat apa?

Manusia ada untuk melanjutkan keberadaannya dengan ada bersama yang lain. Manusia ada ini karena diadakan oleh Yang Maha Ada maka dia harus mempersembahkan adanya itu kepada Yang Maha Ada itu dalam karya memelihara diri,  sesama dan alam sekitar. Hasilnya? Bahagia mulai di  dunia  ini sampai di keabadian.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *