‘Saya tidak sampai hati’. ‘Hati saya hancur’. ‘Hati saya gembira berbunga-bunga’. ‘Kamu itu tidak ada hati’. Ini berbagai ungkapan yang memakai kata ‘hati’. Orang Inggris, ‘heart’ itu ada dua arti, ‘hati’ dan ‘jantung’. Kita di Indonesia membedakan, dua organ tubuh ini memang beda, dan sumber perasaan pun berbeda. ‘Hati’ dipakai untuk ungkapan perasaan ‘kasih sayang’, ‘Jantung’ dipakai untuk keakraban, kedekatan. ‘Jantung hati saya’, ‘Jantung saya berdebar’, ‘Si jantung hati’, ‘Kena di jantung’, ini semua ungkapan tentang perasaan kedekatan seseorang dengan orang lain. Kalau perasaan belas kasih, diungkapkan dengan ‘hati’.
‘Ini kena di hati saya’. Ungkapan ini gambaran NAFSU, yang sesuai dengan keinginan indrawi. ‘Hati saya tidak tenang’. Ini menyangkut hitung-hitungan, pengetahuan tentang suatu keadaan. Ini gambaran pergolakan NALAR. ‘Wah, sampai hati kamu’. Ini menyangkut nasib sesama yang diperlakukan tidak adil.
Masuk dalam ranah NALURI. ‘Saya terima dengan segenap hati’. Ini menyangkut NURANI. Secara filsafat, hati itu mengungkapkan perasaan kasih sayang terhadap sesama. Setuju (NAFSU), sepikir (NALAR), senasib (NALURI), sehati (NURANI). Semua ungkapan ini menyangkut diri pribadi kita yang tampil dalam keutuhan, sebagai orang yang baik, berbudi luhur, mempunyai harga diri, ada martabat sebagai manusia berakal budi, berhati nurani murni.
Ungkapan yang lebih luhur ditujukan oleh kita manusia kepada Yang Maha Tinggi dengan kata-kata, ‘Yang Mahabaik’, ‘Yang Maharahim’, ‘Pengasih Penyayang’. Sekarang ada pertanyaan filsafat, ‘Mengapa kita manusia tidak bertindak seperti Pencipta kita?’ Kebaikan, Kerahiman, Kasih sayang ditanamkan dalam diri kita manusia.
Mengapa kita tawar-menawar dalam melanjutkan ini semua kepada sesama kita? Kalau kita konsekuen dengan filsafat ‘hati dan jantung’, maka sesama kita yang ada ‘hati dan jantung’ itu harus kita tempatkan sama tinggi sama rendah dengan diri kita. Tidak pernah boleh yang namanya kita manusia ini saling merendahkan, saling menciderai, apa lagi saling membunuh. Perang tanding antar kampung, perang dingin, perang panas, perang antar negara, perang dunia, tidak mungkin dan tidak boleh terjadi kalau filsafat ‘hati dan jantung’ ini dilaksanakan oleh setiap pribadi manusia, keluaga, kelompok, suku dan bangsa sedunia.