‘Hai, semua ini filsafat habis’. Ini ungkapan teman yang kaget dengan apa-apa filsafat. Semua filsafat. Yah, agama itu ada filsafatnya, dalam arti berpikir secara mendalam tentang Agama. Langsung buat pembedaan, ada Agama dan dalam Agama ini ada dua kelompok: Penganut Agama dan Penghayat Agama. Agama itu percaya pada Yang Maha Tinggi. Ada penganut Agama ini, Agama itu. Agama mana pun saja, ada penganut dan jumlah penganut itu banyak atau sedikit tergantung dari penyebarannya.
Setiap Agama ada Penghayat. Inilah kelompok yang menghayati isi ajaran, tradisi sesuai petunjuk orang-orang yang bewenang dalam Agama itu. Biasanya pertengkaran tentang Agama itu disebabkan oleh para penganut. Penghayat tidak bertengkar. Karena para penganut ini ada dalam ranah NAFSU. Bertengkar karena uang, gedung, jumlah penganut, jumlah penghasilan, jumlah sumbangan. Ini masuk ranah NAFSU yang erat bertalian dengan hal-hal bendawi, materi.
Ada penganut yang pamer kehebatannya dalam menguraikan ajaran Agama. Biasanya suka serang ajaran Agama lain. Ini masuk dalam ranah NALAR. Silahkan kotbah di sana-sini. Bisa dinilai, pengkotbah ini ‘penganut’ atau ‘penghayat’. Ada penganut Agama yang bangga dengan jumlah. Mayoritas – minoritas.
Di Eropa, mayoritas Kristen. Di Timur Tengah mayoritas Islam. Di Indonesia, mayoritas Islam. Kalau hitung jumlah penganut, ukur kepentingan kelompok, maka pertengkaran tak terhindarkan. Ini ranah NALURI. Kemudian penganut Agama ini saling menilai ke dalam dan ke luar, siapa lebih rajin, siapa lebih tekun praktekkan ajaran Agama, ini masuk ranah NURANI.
Berdasarkan teori 4 N (Kwadran Bele, 2011), Filsafat Agama itu membawa seseorang untuk berpikir, saya ini penganut dan penghayat atau penganut saja, penghayat saja. NAFSU mendorong manusia untuk menganut dan menghayati Agama dengan penampilan lahiriah, berlaku seturut ajaran, tradisi dan pimpinan Agama. Bangun rumah ibadat, taat beribadah dan beramal. Ini kelihatan, dan setiap kita ingin hal-hal ini diketahui dan dilihat orang lain. Ini baik sejauh tidak sampai pamer.
NALAR kita mendorong untuk mengetahui dan memahami Agama yang kita anut dan hayati. NALURI kita mendorong diri kita untuk tetap erat bersatu dengan sesama penganut dan penghayat Agama yang sama dan menghormati penganut dan penghayat Agama yang lain. Ini yang namanya rukun beragama. NURANI kita menyadarkan kita bahwa semua orang yang menganut dan menghayati Agamanya, terarah kepada tujuan yang sama, YANG MAHA TINGGI.
Yang Maha Tinggi itu mendapat Sapaan Nama, cara Ibadah, rumusan Ajaran yang berbeda-beda dalam setiap Agama berdasarkan ‘Ajaran’, ‘Tradisi’ dan ‘Wewenang’ masing-masing Agama itu.
Dalam Agama ada Ajaran. Tertulis dalam Kitab Suci masing-masing. Ada tradisi. Ini sesuai zaman dan tempat. Ada pimpinan yang harus ditaati. Diri manusia secara pribadi, bebas untuk anut dan hayati Agama mana saja. Ini kebebasan mutlak dari manusia. Tidak boleh ada paksaan.
Ada orang yang terlahir dari orang tua dalam Agama tertentu. Yah, mengapa ini dipersoalkan. Persoalan muncul kalau manusia itu bertindak sebagai Penganut saja dan bukan Penghayat Agama. Menganut Agama dan tipis dalam menghayati, maka benih cemburu, suka menilai orang lain, suka mencampuri urusan orang lain, tumbuh subur dalam diri orang atau kelompok yang tipis penghayatannya terhadap Agama yang dianutnya.
Dari sudut Filsafat Agama ini, terserah pada diri kita masing-masing, pilih, saya lebih kuat rasa sebagai Penganut saja atau Penghayat saja dari Agama saya. Yang benar ialah: “Penganut dan Penghayat menjadi satu dalam diri saya”. Posisi inilah yang ditampilkan dalam hidup bersama sesama dan sama-sama mengangkat hati menundukkan kepala di Hadapan Yang Maha Tinggi.