Emansipasi Laki-Laki Suku Buna’ di Pedalaman Pulau Timor

 

Emansipasi perempuan masih sering terdengar dalam kaitan dengan persamaan hak perempuan dengan laki-laki dalam berbagai sektor kehidupan. Tetapi emansipasi laki-laki, apa mungkin? Apa yang diperjuangkan oleh kaum laki-laki di kalangan suku Buna’ di Timor, Provinsi Nusa Tenggara Timur -NTT?

Suku Buna’ ini hidup di pedalaman Pulau Timor, sampai sekarang, tahun 2020, diperkirakan masih sekitar 100.000 orang anggota suku Buna’.

Kelompok ini tersebar di dua wilayah yang bersambungan, wilayah pertama, di Negara Timor Leste, sekitar 70.000 orang dan kelompok yang di wilayah kedua, ada di Timor bahagian Republik Indonesia.

Mereka kira-kira berjumlah 30.000 orang yang menghuni dua Kecamatan, yaitu Kecamatan Lamaknen dan Lamaknen Selatan, Kabupaten Belu, Prov. NTT.

Suku Buna’ berbahasa Buna’ dan mempunyai adat kebiasaan yang khas suku Buna’ termasuk sistim kekerabatan. Dalam masyarakat Buna’ dikenal dua macam ‘suku rumah’, suku ‘Malu’ dan suku ‘Aibaa’.

Seorang laki-laki mengambil isteri dari suku A dan si isteri menjadi anggota suku dari laki-laki, suku B. Suku A, asal dari perempuan, disebut ‘Malu’, pemberi wanita. Suku B, suku dari si suami, disebut ‘Aibaa’, penerima wanita. Sistim perkawinan ini disebut, ‘Momen’, artinya, ‘Yang Utama’, patut dihormati.

Si suami menjadi ‘Momen Mone’, laki-laki yang diutamakan dalam suku karena mendatangkan ‘Momen Pana’, seorang perempuan yang diutamakan di dalam suku si Suami. Semua anak-anak menjadi anggota suku Bapa, suku B. Mama mereka dari suku A, hanya dikenal sebagai suku asal, tapi baik mama maupun anak-anak sudah meninggalkan suku mereka, suku A, dan menjadi anggota suku B, suku Bapa.

Sistim perkawinan ini sangat mahal dari segi materi, karena suku perempuan, yaitu suku A, memberikan beberapa bidang kebun dari suku mereka sebagai tempat usaha untuk hidup dari anak perempuan mereka yang sudah berpindah menjadi anggota suku B. Harta berupa uang emas dan perak diberikan kepada si anak perempuan yang telah berpindah suku, dari suku A ke suku B.

Jalinan antara suku A (suku asal perempuan) dan suku  B (suku laki-laki) sangat erat karena hubungan darah ini. Suku B, suku suami membalas bidang-bidang kebun yang diberikan oleh suku A, (suku perempuan) dengan sejumlah hewan, kerbau, sapi dan kuda.

Kalau dirupiahkan, dua belah pihak bisa mengeluarkan uang ratusan juta rupiah. Di sinilah letak kemahalan sistim ‘momen’ ini. Sejak tahun 1950an, sistim ‘Momen’ ini sudah tidak dipraktekkan lagi, kini hanya tinggal sejarah.

Sistim perkawinan baru berlaku di kalangan suku Buna’ sekarang ini, ‘Ton terel’, bahasa Buna’, artinya: ‘Kawin Ikut’ atau ‘kawin masuk’, laki-laki tetap di suku asalnya, perempuan pun tetap di suku asalnya. Tidak ada perpindahan suku.

Laki-laki datang, kawin dan tinggal di rumah suku isteri. Ada uang mahar, ‘belis’ dari pihak suku laki-laki ke pihak suku perempuan. Kalau dirupiahkan, hanya sekitar puluhan juta rupiah.

Isteri tidak berpindah tempat tinggal, tetap di sukunya. Laki-laki yang datang dan diterima sebagai ‘mane pou’ (laki-laki baru) yang oleh saudara-saudari si isteri dihargai sebagai ipar dan orang tua si isteri menerima laki-laki ini sebagai ‘anak mantu’.

Masalah muncul di sini, laki-laki tidak ada hak atas anak-anak, karena anak-anak ini anggota suku mamanya. Yang berhak urus anak-anak adalah paman mereka, saudara laki-laki dari si isteri. Sedangkan si suami, mempunyai tanggungan untuk mengurus para ponakannya di sukunya sendiri.

Kalau si-ister meninggal dunia, laki-laki kembali ke tengah kaum keluarga di sukunya, dengan pakaian di badan. Kebun yang diusahakan bersama isiteri, tidak menjadi haknya karena tetap milik suku isteri. Anak-anak kandungnya dipelihara oleh keluarga isteri yang sudah almarhumah.

Di sinilah letak perjuangan kaum laki-laki suku Buna’, mau ber-emansipasi, tuntut haknya, bagaimana bisa terlepas dari ikatan adat yang tidak mengakui haknya sebagai bapak kandung atas anak-anaknya.

Sistim ini masih berlaku sampai sekarang. Akibat sosialnya, ialah, banyak laki-laki dari suku Buna’ memilih untuk kawin dengan perempuan yang bukan suku Buna’ supaya ada hak milik atas kebun yang diusahakan dan ada hak atas anak-anak kandung. Perkembangn zaman yang akan menentukan.

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *