Jangan. Kalau kata ini tidak ada, kita semua manusia sudah celaka. Musnah. Punah. Sekarang kita masih ada turunan demi turunan karena ada kata ini, ‘jangan’. Heran, ada dua kata ini berdampingan, ‘jangan’ dan ‘harus’. Harus itu perintah, jangan itu larang. Perintah dan larangan ada untuk ditaati oleh kita. Larang dan suruh ibarat dua sisi dari satu mata uang. Kalau larang terus tanpa perintah, maka sengsaralah hidup ini. Kalau suruh dan suruh terus, maka apakah kita manusia ini pesuruh?
Nafsu kita bergerak antara dua kutub ini, jangan dan harus. Jangan terus, jadi pembangkang, karena lawan. Harus terus, kurus, karena beban. Nalar kita sadar akan makna jangan dan harus. Tidak ada jalan tengah. Atau-atau. Jangan atau harus. Naluri kita terkendali oleh jangan dan harus ini. Kalau lalai, jadi serigala bagi sesama. Nurani kita meresapkan sari pati dari jangan dan harus. Ampas dibuang, sari disimpan. Itulah peran Nurani.
Empat N, Nafsu + Nalar + Naluri + Nurani adalah empat unsur yang diletakkan TUHAN dalam diri kita masing-masing agar ikut dua kata ini, ‘jangan’ dan ‘harus’. (4N, Kwadran Bele, 2011).
Jangan ribut. Harus tenang. Ini larangan dan suruhan guru kepada siswa-siswi dalam kelas. Apa tujuannya? Supaya belajar dan kerja tugas dengan tenang. Nanti dalam ujian, bisa lulus. Larang bukan rotan, suruh bukan beban. Ini demi keberhasilan siswa-siswi.
Dalam hidup, siapa yang larang dan suruh kita? TUHAN. Ini bukan filsafat yang dikira hanya permainan otak. Filsafat itu menyeluruh, menyangkut ‘4N’, pikir sedalam-dalamnya tentang makna dan tujuan dari ‘4N’. Jadi dengan filsafat tentang dua kata ini, ‘larang’ dan ‘suruh’, hidup kita jadi penuh makna.