Gigi

 

 

Gigi. Apa lagi? Ada filsafat tentang gigi? Yah, ada. Pikir sedalam-dalamnya tentang gigi, itulah filsafat gigi. Tunjuk gigi, menantang. Gigi asam, tahan amarah. Gigi ganti gigi, balas dendam. Gertak gigi, ancam. Kertak gigi, penderitaan. Mamah gigi, geram. Makan gigi, benci. Ada gigi, masih ada tenaga. Gigi ompong, tenaga habis.

Heran, gigi yang dipakai untuk kunyah makanan dimuat dengan rupa-rupa ungkapan. Kita manusia ini ada Nafsu, keinginan untuk memperoleh dan menikmati segala sesuatu di sekitar kita. Lewat gigi, Nafsu ini diungkapkan kekurangannya, tunjuk gigi, gertak gigi, gigi ganti gigi. Ini Nafsu  tidak terkendali yang memakai gigi bukan untuk kunyah makanan tapi lumatkan sesama.

Kita manusia ada Nalar untuk menjelajahi dunia pengalaman dan ilmu pengetahuan. Kalau ada gigi, artinya Nalar masih mampu menggerakkan diri kita untuk menimba ilmu dan menambah pengalaman. Kalau tidak ada gigi lagi, yah, berhenti di tempat, tinggal kemampuan mengelamun dan mengulang-ulang pengetahuan kuno dan pengalaman basi.

Kita manusia ada Nurani untuk bergaul dengan sesama. Kalau berpegang pada gigi ganti gigi, wah, itulah yang orang Latin bilang, homo homini lupus, manusia jadi serigala untuk manusia. Merangkul sesama itu mengapa diganti dengan mencekik sesama? Ini yang namanya gigi asam. Lihat sesama seperti mangsa yang siap dikunyah dan dimusnahkan. Kunyah makanan, bukan hancurkan makanan. Beda. Naluri kita mendorong diri kita untuk menyalami sesama bukan menjauhi sesama.

Kita manusia ada Nurani untuk menyayangi sesama,  mengasihi sesama tanpa pilih dan dengan itu memuji TUHAN PENCIPTA kita. Karya mengasihi ini tidak berat. Tapi lebih sering suka gigit sesama dengan gigi membuat sesama kertak gigi, kesakitan. TUHAN menciptakan kita untuk memakai gigi memperlancar pengolahan makanan sambil beryukur kepada TUHAN. Ini ada dalam Nurani.

Perpaduan antara Nafsu+Nalar+Naluri+Nurani dalam peran gigi inilah filsafat gigi. (4N, Kwadran Bele, 2011).

Jadi gigi bukan sekedar hiasan atau alat untuk menyusahkan sesama tetapi untuk menyelamatkan, menyehatkan. menyejahterakan diri dan sesama. Itulah yang dikehendaki oleh TUHAN PENCIPTA kita.

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *